Kamis, 04 Juli 2013

kriminal

Jakarta – Pemerkosaan oleh keluarga sedarah (inses) makin kerap terjadi di Indonesia dalam setahun. Lentera Indonesia, kelompok pendukung bagi korban pemerkosaan yang bertahan (sintas/survivor), menyatakan kasus inses itu 8 dari 10 kasus.

“Kalau yang korban inses bisa dibilang 8 dari 10. Ini hanya menegaskan fakta bahwa kita pikir kasus kekerasan seksual ada di luar sana, tidak tersentuh, kenyataannya pelaku itu bisa jadi ada di sekeliling kita,” ujar pendiri dan CEO Lentera Indonesia, Wulan Danoekoesoemo, ketika berbincang dengan detikcom, Kamis (21/2/2013).

Lentera menggolongkan pemerkosaan yang konteksnya inses tidak hanya dilakukan oleh orang tua dan saudara kandung, tetapi semua yang masih memiliki hubungan keluarga atau akses langsung pada korban/anak. Seperti paman, kakek, sepupu hingga ayah tiri.

“Kalau di Lentera sendiri sejauh ini mayoritas survivor yang datang adalah child passionate abuse (mengalami kekerasan seksual sejak anak-anak). Nah ketika kita melihat kasus kekerasan seksual anak, pelakunya adalah orang-orang terdekat,” jelas perempuan yang juga psikolog pasca mishap ini.

Orang-orang terdekat itu adalah mereka yang bertanggung jawab pada anak, atau orang yang dipercaya keluarga untuk menjaga anak itu. Secara alami seorang anak itu selalu dijaga dan dilindungi.

“Kalau mereka bisa mengalami kekerasan seksual, pasti ada seseorang yang dekat yang punya akses,” ungkapnya.

Wulan menjelaskan kekerasan seksual adalah kekerasan yang traumanya komprehensif dan bertahan dalam setiap aspek kehidupan. Anak-anak, imbuhnya, tidak mengerti apa yang dilakukan orang lain kepadanya benar atau salah.

“Saat sudah besar barulah memahami bahwa tidak seharusnya perbuatan itu dilakukan pada dia. Beberapa mulai menyadari bahwa tubuhnya sudah dilanggar setelah bertahun-tahun,” kata Wulan.

Kebanyakan survivor datang ke Lentera Indonesia saat sudah berusia dewasa muda bahkan hingga lansia. Namun epoch keterbukaan informasi sekarang membuat survivor dan lingkungannya semakin sadar dan bisa menerima keadaan survivor.

“Sekarang banyaknya eksposur dari media, korban lebih berani, keluarga banyak yang teredukasi, mulai mengerti untuk tidak menyudutkan korban. Ada survivor yang tidak mendapatkan dukungan, seperti mengadu ke ibunya bahwa pelaku ayah tirinya, ibunya malah tidak mempercayai. Bagi yang seperti ini malah tidak terselesaikan. Proses pemulihannya cukup lama,” jelas Wulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar